Rabu, 07 April 2010
Manajemen Resiko ala Pencuri
Alkisah pada suatu hari di negeri antah berantah, terjadilah sebuah peristiwa yang cukup menghebohkan sekaligus memprihatinkan. Seorang petani miskin kedapatan mencuri singkong di kebun milik orang lain. Apa hebohnya? Bukankah sudah biasa? Seorang petani miskin mencabut singkong barang sebatang di sore hari saat hendak pulang ke rumah demi untuk menghentikan tangisan anak istrinya sedari pagi. Sang empunya kebun juga mungkin akan memaklumi, seberapa banyak sih kemampuan petani miskin itu mengambil singkong miliknya? Hampir tidak mungkin bisa mengambil singkong senilai Rp 28 milyar seperti yang diambil oleh pegawai pajak golongan tiga A itu…..Lagi pula singkong yang diambil itu bisa menjadi ladang amal si empunya kebun. Justru memprihatinkan bukan? Jawabannya tidak! Setidaknya inilah jawaban si empunya kebun dan mengadukan kejadian itu ke mantri polisi. Petani miskin di gelandang ke kantor pos polisi dan diinterogasi dengan amarah yang meledak-ledak oleh sejumlah orang disitu. Tamparan dan tendangan melayang bertubi-tubi di wajah dan tubuhnya yang kerempeng legam terbakar matahari untuk suatu pertanyaan yang tidak ia mengerti. “….kamu yang sering mencuri singkong, pisang dan ayam di sekitar sini ya…?” sungguh pertanyaan yang sangat merendahkan dirinya hingga jatuh tercerai berai ke tanah….
Akhirnya petani miskin dengan wajah lebam itu dijebloskan ke dalam sel penjara berisi delapan orang dengan kasus yang berbeda-beda, penjambret, pencopet, pencuri motor, maling jemuran, dan maling ayam. Sungguh suatu tempat yang tidak pernah ia mimpikan sedikitpun. Baginya yang lebih indah adalah rumahnya sendiri meskipun berlantai tanah berdinding bilik bambu beratap anyaman jerami.
Lain peristiwa masih di negeri antah berantah, seorang punggawa pemungut upeti dengan latar belakang pendidikan Sekolah Tinggi ANtahberantah (STAN), sebut saya jayus, membuat rekayasa laporan keuangan dan menggelapkan upeti yang seharusnya dibayarkan kepada Negara. Tak tanggung-tanggung! 28 milyar rupiah telah nangkring di beberapa rekening bank atas namanya. Uang itu tidak ia makan sendiri, meskipun sebagian telah dibelikan kemewahan, ia bagikan kepada petinggi penegak hukum seperti polisi, jaksa dan hakim. Sementara orang ribut-ribut mempersoalkan, ia malah pergi melancong ke negeri tetangga dengan alasan berobat bersama anak istrinya. Nyatanya ia malah jalan-jalan dan makan-makan disana. Kontan saja petinggi negeri antah berantah dibuat kalang kabut. Mereka beramai-ramai menyusul kesana, bak adegan sinetron kejar tayang, mereka tak sengaja menemukan si jayus di rumah makan, kongkow-kongkow sebentar dan akhirnya berhasil diajak pulang.
Selama perjalanan jayuspun banyak tersenyum dan santai bicara. Coba bayangkan, bila ia adalah tersangka kasus teroris! Tentu sudah diikat dan ditutup matanya......! Tahukah anda kenapa sebabnya? .......yup...betul sekali jawaban anda…! karena tersangka teroris tidak terlihat keuangannya, sedangkan kasus jayus jelas sekali ada milyaran rupiah disitu…..
Proses hukum harus berjalan, jayus juga akan diinterogasi. Tapi tidak ada bentakan, apalagi tamparan atau pukulan seperti yang dialami petani miskin pencuri singkong.
Setiap perbuatan pasti mengandung resiko, namun besar kecilnya resiko tergantung seberapa pintar si pelaku menyusun strategi dan menjalankan aksinya. Resiko bukan untuk dihindari, tapi dikelola dengan baik sehingga akan memunculkan peluang-peluang yang menguntungkan.
Jayus paham betul bahwa perbuatannya jelas-jelas melanggar hukum, tapi ia cukup pintar untuk berbagi, sehingga banyak pihak yang akan terkena getah dari ulahnya itu. Meskipun ia sudah diputus bersalah dan dijebloskan ke dalam bui-pun masih membutuhkan biaya untuk membeli kemewahan. Toh ia tidak perlu cemas, karena ia mampu mengatasinya. Tidak semua hasil kejahatannya disita oleh negara, karena sebagian sudah dialihkan tidak atas namanya, istrinya atau keluarga lainnya.
"Kejahatan yang dilakukan oleh orang bodoh tidak lebih berbahaya dibandingkan dengan kejahatan yang dilakukan oleh orang pandai"
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar