Senin, 22 Agustus 2011
LAYANAN PRIMA PADA BANK SYARIAH
Sebagai sebuah entitas bisnis bidang jasa, Perbankan Syariah dihadapkan pada sebuah fakta bahwa perilaku konsumen semakin cerdas dan selalu berkembang sesuai dengan kondisi lingkungan baik secara mikro maupun makro. Konsumen tidak hanya memanfaatkan jasa yang ditawarkan berikut kelebihannya, namun lebih dari itu akan memperhatikan bagaimana sebuah layanan diberikan.
Kepuasan pelanggan adalah kunci sukses dalam bisnis jasa Perbankan Syariah. Tujuan ini tentunya dapat dicapai salah satunya dengan cara layanan prima (services excellent). Konsep utamanya adalah bagaimana nasabah merasa nyaman dan mudah dalam tiap proses menikmati produk-produk Bank Syariah. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits “Barangsiapa yang memudahkan urusan orang yang mengalami kesulitan maka Allah akan memudahkan urusannya baik di dunia maupun di akhirat” (HR.Muslim).
Seorang calon nasabah yang ingin memanfaatkan jasa Bank Syariah menunjukkan bahwa sebenarnya ia telah memiliki ketertarikan awal pada produk bank syariah. Momemtum inilah yang harus dimanfaatkan oleh Sumber Daya Insani (SDI) pada Bank Syariah untuk memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang keunggulan sistem Perbankan Syariah dibanding sistem Perbankan Konvensional. Sumber Daya Insani Bank Syariah sebenarnya juga menjalankan fungsi dakwah aplikatif dari menyeru dalam hal kebaikan atas prinsip bagi hasil dan memberikan pemahaman akan bahayanya riba. Namun demikian nasabah juga tidak hanya mempertimbangkan kehalalan produk bank syariah tetapi lebih jauh akan menilai seberapa baik pelayanannya.
Pelayanan kepada nasabah meliputi :
1.Kondisi fisik antara lain bangunan, tata letak ruangan, kebersihan dan kenyamanan.
2.Produk yang ditawarkan kepada nasabah melalui proses pengembangan dari produk-produk yang diinginkan nasabah saat ini. Tidak selamanya bank syariah melakukan pemasaran produk melalui pendekatan “halal-haram”. Karena sebenarnya nasabah menginginkan produk yang sudah pasti halal namun memberikan keuntungan yang lebih baik dari bank konvensional serta kemudahannya seperti tersedianya jaringan ATM dan sebagainya.
3.Pelayanan front liner;
-Satpam membukakan pintu dan menyapa dengan salam dan senyuman kepada nasabah yang datang dan pergi.
-Customer Services yang memiliki pemahaman produk (product knowledge) dan mampu berkomunikasi dengan baik dalam menjelaskan kepada nasabah. Mampu menerima pengaduan nasabah baik secara langsung maupun melalui komunikasi jarak jauh.
-Teller : melayani nasabah dengan ramah, cepat dan akurat dalam meng-entry transaksi.
Untuk menjaga kualitas pelayanan hendaknya dilakukan pola pengawasan pelaksanaan serta memberikan penghargaan kepada pegawai atas prestasi terbaiknya memberikan pelayanan kepada nasabah.
Aspek layanan nasabah meliputi :
1.SENYUM
Senyum adalah bahasa tubuh yang paling mudah dipahami. Senyum dalam kaitannya dengan layanan prima adalah senyum dengan menghadirkan hati, sehingga akan memancarkan sinyal ketulusan bagi setiap nasabah. Seorang nasabah yang datang dengan disambut senyuman oleh petugas front office akan merasa nyaman dan diterima kehadirannya.
Tiap-tiap amalan makruf (kebajikan) adalah sodaqoh. Sesungguhnya di antara amalan makruf ialah berjumpa kawan dengan wajah ceria (senyum) dan mengurangi isi embermu untuk diisikan ke mangkuk kawanmu. (HR. Ahmad)
2.SAPA
Segera lanjutkan dengan menyapa nasabah dengan ucapan salam “assalamualaikum....” dan tunjukkan kesiapan untuk membantu dengan mengucapkan “Bapak/Ibu ada yang bisa kami bantu?”
Dari Abu Ayyub Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak halal bagi muslim memutuskan persahabatan dengan saudaranya lebih dari tiga malam. Mereka bertemu, lalu seorang berpaling dan lainnya juga berpaing. Yang paling baik di antara keduanya ialah memulai mengucapkan salam. Muttafaq Alaihi.
3.DENGAR
Beberapa nasabah memiliki tipe dan karakter yang berbeda-beda, ada yang biasa berbicara dan mengemukakan tujuannya datang ke bank syariah, sebagian ada yang sebaliknya atau bahkan cenderung pendiam. Disinilah peran SDI bank syariah untuk berkomunikasi dengan nasabah, sehingga nasabah merasa diarahkan untuk menemukakan tujuan yang sebenarnya telah ia fikirkan. Dengarkan apa yang nasabah sampaikan agar bisa menentukan solusi apa yang akan diberikan.
4.BANTU
Setelah memahami keinginan nasabah, segeralah membantunya. Berikan solusi terbaik dan tercepat agar tercapai kepuasan maksimal bagi nasabah. Sebaik apapun solusi yang diberikan bila tidak dilakukan secara cepat akan mengurangi nilainya. Anggap saja nasabah yang datang ke bank syariah adalah orang-orang yang sibuk dan memiliki banyak urusan yang akan diselesaikan pada kesempatan berikutnya.
Dari Abu Hurairah rodhiallohu ‘anhu, Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa melepaskan seorang mukmin dari kesusahan hidup di dunia, niscaya Alloh akan melepaskan darinya kesusahan di hari kiamat, barang siapa memudahkan urusan (mukmin) yang sulit niscaya Alloh akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat (Hadits dengan redaksi seperti ini diriwayatkan oleh Muslim)
Layanan prima (services excellent) merupakan aspek penting dalam keberhasilan merebut hati nasabah. Nasabah sebagai manusia, apabila mereka juga diperlakukan secara manusiawi (people behavioral oriented) maka mereka tidak sekedar mendapatkan kepuasan tetapi mendapatkan suatu kegembiraan atau kesenangan. Hal ini merupakan sebuah pengalaman emosional yang mengesankan bagi pelanggan dan mendorong terjadinya loyalitas. Oleh karena itu, Perbankan Syariah harus melakukan pengelolaan services quality untuk dapat merebut dan mempertahankan kepuasan pelanggan (customer satisfaction). Lebih jauh lagi, Perbankan Syariah juga harus membuat pelanggan bukan hanya sekedar merasakan kepuasan (satisfaction). Karena pelanggan yang puas masih terbuka kemungkinan untuk beralih ke produk perusahaan lain atau produk pesaing. Sehingga Perbankan Syariah harus dapat menciptakan perasaan dan pengalaman yang menyenangkan bagi nasabah (customer delight).
Kamis, 18 Agustus 2011
METODE DAKWAH SYEH AHMAD MUTAMAKKIN
A. PENDAHULUAN
Penyebaran Islam di Jawa tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dan kiprah perjalanan orang-orang suci yang sangat legendaris dalam cerita lisan orang Jawa-Islam yang sangat populer dengan sebutan Wali berjumlah sembilan atau Walisongo. Meskipun terkenal dengan sebutan Walisongo diduga kemungkinan besar sebenarnya jumlah yang sesungguhnya lebih dari itu, namun angka sembilan dalam mitologi Jawa memiliki makna tersendiri, dan kesembilan Wali yang populer dan diyakini masyarakat sebagai penyebar Islam pertama di Jawa adalah: Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Gunungjati.
Kesembilan Wali tersebut diyakini oleh masyarakat Jawa memiliki kemampuan linuwih baik secara fisik maupun spiritual, bahkan mereka dianggap mampu melakukan hal-hal yang sulit untuk diterima secara akali, merubah pohon pinang jadi emas dan membuat soko masjid dari pasahan kayu. Lepas dari perdebatan apakah cerita lisan itu benar atau salah yang jelas para Wali yang jumlahnya sembilan itu memilki kemampuan lebih dalam arti yang rasional dan ilmiah yaitu mereka sebagai pendatang yang berusaha merintis sebuah ajaran dan ideologi baru mampu melakukan strategi yang jitu dalam mencari celah-celah nilai antara tradisi dan keyakinan lama ( Hindu-Budha) dengan tradisi dan keyakinan baru (Islam) dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan, sehingga Islam sebagai nilai-nilai baru dengan strategi yang mereka bangun bisa diterima, bahkan sekarang menjadi ajaran mayoritas di Indonesia.
Strategi dan taktik inilah sebenarnya yang sekarang diwarisi oleh lembaga pendidikan yang namanya pesantren, karena memang secara historis keberadaan pesantren tidak bisa terlepas dari sejarah keberadaan para Wali tersebut. Penjagaan harmoni dan penghormatan terhadap nilai-nilai lama dan lokalitas sangat dijunjung tinggi di dalam proses akulturasi dan integrasi yang mereka lakukan. Institusionalisasi pesantren merupakan perjuangan tahap lanjut dari pendekatan yang digunakan Walisongo dalam meng-Islamkan tanah Jawa, kesalehan sebagai jalan hidup, pemahaman yang konkret dan utuh terhadap budaya lokal merupakan karakter yang dimiliki para santri yang dulu juga pernah dilakukan oleh Walisongo.
Perkembangan Islam di Jawa nenemukan momentumnya ketika para Wali dapat berintegrasi dengan para tokoh bangsawan Jawa saat itu, integrasi ini dilakukan dengan berbagai cara diantaranya melalui pendidikan, perkawinan dan puncaknya ketika Walisongo bersatu membangun masjid Demak dan menjadikannya sebagai pusat kerajaan Islam pertama di Jawa Tengah pada paruh kedua abad XV, Demak cepat menjadi pusat perdagangan dan lalu lintas serta sekaligus menjadi pusat ibadah bagi golongan menengah Islam yang baru muncul.
Politik ekspansi raja-raja Demak dalam masa kejayaannya telah jauh masuk ke Jawa Barat, Tengah dan Timur, hal itu selalu dibarengi dengan dakwah agama, sebab semangat agama raja-raja Demak menganggap Masjid Demak sebagai simbol kerajaan Islam pada saat itu.
Dalam sejarah dimaklumi Raden Patah sebagai raja Demak yang pertama, diyakini dia adalah keturunan raja kerajaan pra Islam Majapahit yang terakhir yang dalam legenda bernama Brawijaya, ibu raden Patah konon sorang putri keturunan Cina dari keraton raja Majapahit. Berturut-turut setelah kerajaan Demak dipegang oleh Raden Patah pada tampuk kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Pangeran Sabrang Lor yang selanjutnya diteruskan oleh generasi ketiga yang bernama Trenggono, keduanya merupakan putra dari Raden Patah raja pertama Demak.
Demak sebagai ibu kota kerajaan Islam menjadi titik tolak perjuangan pada dasawarsa pertama abad XVI untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh Jawa melalui berbagai ekspansi dan ekspedisi militer, ke arah barat Hasanuddin putra Syekh Nurullah yang lebih dikenal dengan gelar Sunan Gunungjati kelak kemudian diketahui sebagai raja Islam pertama di Banten, sementara ke arah timur bisa dilihat Jaka Tingkir seorang prajurit yang mengabdi pada raja Demak dan menjadi menantu Trenggono, menguasai pajang dan menjadi raja disana dan setelah itu mengangkat Pangeran Timur (putra raja Demak ) sebagai bupati di Madiun. Perluasan daerah melalui ekpansi dan ekspedisi ini menyebar ke berbagai arah penjuru Jawa sampai ke Madura pada paruh pertama abad XVI.
Sultan Trenggono telah mengawinkan salah satu putrinya dengan Jaka Tingkir alias Sultan Hadiwijaya dan dari perkawinan itu lahirlah Pangeran Benowo atau Raden Hadiningrat yang mempunyai putra bernama Pangeran Sambo atau Raden Sumohadinegoro yang menurunkan putra Syekh Ahmad Mutamakkin, Waliyullah yang berdakwah menyebarkan ajaran Islam di Desa Kajen Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati Propinsi Jawa Tengah.
B.STRATEGI DAN METODE DAKWAH
Syekh Ahmad Mutamakkin dilahirkan di Desa Cebolek, 10 kilometer dari kota Tuban sekitar tahun 1645 Masehi dan wafat tahun 1740 Masehi. Nama al-Mutamakkin merupakan nama gelar yang didapatkan sepulang menuntut ilmu di Timur Tengah, yang berarti orang yang meneguhkan hati atau diyakini akan kesuciannya.
Di desa asalnya yang sekarang sudah berganti nama menjadi Desa Winong dapat dijumpai peninggalan beliau berupa sebuah masjid kuno terletak di pinggir sungai. Didalamnya masih tersimpan kayu berbentuk lonjong agak bulat yang dulu digunakan beliau untuk menjemur peci/baldu (masyarakat sekitar menyebutnya klebut) serta sebuah batu berbentuk asbak. Sementara keris pusaka Syekh Ahmad Mutamakkin diyakini oleh masyarakat sekitar masih berada di dalam pohon sawo kecik yang berada di depan masjid itu. Kehidupan masyarakat yang damai dan tentram ini adalah hasil perjuangan beliau dengan menyadarkan para penyamun dan penjahat yang menguasai daerah itu sebelumnya.
Lazimnya orang yang hidup pada zaman dahulu, Mutamakkin muda mengembara untuk memenuhi hasrat keinginannya, suatu ketika sampailah pada sebuah tempat, tepatnya di sebelah utara timur laut desa Kajen sekarang. Kebiasaan para pengembara pada waktu itu untuk mengembalikan suasana daerah asalnya sekaligus untuk memudahkan dalam beradaptasi dengan lingkungan baru, daerah itu diberi nama “cebolek” seperti desa kelahiran beliau.
Di desa barunya ini Syekh Ahmad Mutamakkin sempat bermukim beberapa saat sampai suatu ketika ada kejadian mistik yang memberikan isyarat kepada beliau untuk menuju ke arah barat, kejadian itu beliau alami setelah menunaikan sholat isya’ dengan melihat cahaya yang terang berkilauan di arah barat, bagi Syekh Ahmad Mutamakkin hal ini merupakan isyarat, dan pada esok harinya beliau menghampiri tempat dimana cahaya pada malam hari itu mengarah. Disana beliau bertemu dengan seorang laki-laki tua yang dalam cerita lokal diyakini sebagai orang pertama Kajen yang bernama Mbah Syamsuddin. Dalam pertemuan itu terjadi sebuah dialog yang didalamnya ada penyerahan wilayah Kajen dari Mbah Syamsuddin kepada Syekh Ahmad Mutamakkin untuk merawat dan mengelolanya. Makam Mbah Syamsuddin berada disebelah barat makam Syekh Ahmad Mutamakkin tepatnya di sebelah arah selatan blumbang, yang sampai sekarang sering digunakan para santri untuk riyadloh dan menghafalkan al-qur’an.
Dalam masa hidupnya Syekh Ahmad Mutamakkin sepenuhnya mengabdikan diri untuk penyebaran agama Islam di daerahnya, beliau pernah belajar di Yaman kepada Syekh Muhammad Zayn al-Yamani yang merupakan seorang tokoh Sufi dalam tarekat Naqsyabandiyah dan sangat berpengaruh di Yaman saat itu. Tidak diketahui secara pasti kapan Syekh Ahmad Mutamakkin berguru kepada Syekh Muhammad Zayn al-Yamani, namun melalui tahun wafatnya ayah Syech Zayn (Syech Muhammad al-Baqi ) tahun 1663 dan kematian putranya (Abdul Khaliq Ibn Zayn) tahun 1740 jadi diperkirakan Syekh Zayn hidup antara abad XVI-XVII. Dengan demikian dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa Syekh Ahmad Mutamakkin berguru pada beliau pada sekitar masa itu.
Sebagai seorang ‘alim, diceritakan Syekh Ahmad Mutamakkin sangat teguh dalam memegang prinsip dan pendiriannya tentang aqidah yang diajarkan dalam Islam, meskipun demikian beliau juga senang mengikuti dan mencermati cerita dalam pewayangan, terutama cerita yang menyangkut lakon Bima Suci atau Dewa Ruci. Beliau sangat faham alur dan penafsiran dalam cerita tersebut, karena memang bagi beliau cerita Bima Suci atau Dewa Ruci itu mengandung unsur kesamaan seperti apa yang pernah dipelajarinya dalam ilmu tasauf ketika berguru di Yaman pada Syekh Zain al-Yamani.
Penyebaran ajaran Islam tidak hanya melalui pendekatan fiqih, namun pengenalan jati diri dan hakikat ketuhanan juga penting dalam membentuk pemahaman umat. Islam bukan hanya transaksional semata seperti pahala dan dosa, surga dan neraka, karena hal tersebut adalah urusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena itu, mengenal Allah akan membentuk diri seorang Muslim makin mencintai Sang Penciptanya. Sehingga pengabdian dan kepatuhan menjalankan syariat-Nya didasarkan pada kecintaan kepada Allah, itulah inti ajaran yang disampaikan Syekh Ahmad Mutamakkin kepada umat pada saat itu dimana masih sangat kental terasa pengaruh ajaran dan budaya lama seperti dalam cerita Bima Suci dan Dewa Ruci.
Ajaran Syekh Ahmad Mutamakkin tersebut oleh para ulama Keraton seperti Katib Anom ternyata dianggap sesat dan membahayakan aqidah umat yang baru mengenal dan mempelajari Islam. Karenanya Syekh Ahmad Mutamakkin sempat disidangkan di Keraton Kartasura dengan tuntutan hukuman pancung. Persidangan pada awalnya nampak alot namun akhirnya semua pihak memahami penjelasan Syekh Ahmad Mutamakkin.
Lazimnya seorang sufi, Syekh Ahmad Mutamakkin gemar melakukan ritual-ritual yang berhubungan dengan peningkatan kedekatan dan ketaqwaan kepada sang Khaliq ( riyadloh), ritual ini biasanya beliau lakukan dengan melatih menahan dan mengurangi kegiatan makan, minum dan tidur, dalam rangka pengekangan hawa nafsu. Suatu ketika Syekh Ahmad Mutamakkin melakukan riyadloh dengan puasa selama 40 hari. Pada hari terakhir riyadloh, sang istri diminta untuk memasak yang enak dan lezat, menjelang waktu berbuka puasa dan makanan dihidangkan seluruhnya diatas meja, beliau minta pada istrinya agar diikat dengan kursi yang didudukinya hingga sulit menggapai makanan tersebut. Sebagain versi lain mengatakan bahwa kejadian pengikatan hanya sebagai simbol pertarungan beliau dengan hawa nafsunya, dang akhirnya keluar dari dalam dirinya dua ekor anjing yang dengan lahapnya menghabiskan semua hidangan dan ingin kembali masuk ke raga beliau tetapi ditolak. Dua anjing tersebut lalu diberi nama Abdul Qohar dan Qomaruddin yang kebetulan menyamai nama penghulu dan khotib Tuban, pemberian nama ini bagi sebagian masyarakat yang anti terhadap beliau dianggap sebagai penghinaan atau bahkan sebagai sebuah kritik terhadap para penguasa saat itu, meskipun sebenarnya pemberian nama itu mengandung arti bagi beliau sendiri, yaitu hamba Allah yang mampu memerangi hawa nafsunya.
Banyak versi baik yang tertulis maupun yang masih beredar dalam keyakinan masyarakat Kajen yang menceritakan tentang sejarah kehidupan Syekh Ahmad Mutamakkin, dan dari kedua versi yang berkembang saling bertolak belakang sesuai dengan sudut pandang masing-masing, versi yang ditulis oleh penguasa saat itu yang lebih dikenal dengan “serat cebolek” menempatkan Syekh Ahmad Mutamakkin sebagai seorang pembangkang dan penganjur aliran sesat yang kurang mampu dan memahami bidang agama. Sementara versi yang diyakini masyarakat Kajen dan ditulis oleh salah satu pengikut dan keturunannya berdasarkan “lokal historis” masyarakat sekitar Kajen menempatkan Syekh Ahmad Mutamakkin sebagai seorang yang ‘alim dan suci sebagi penganjur agama Islam di daerah itu. Bahkan beliau menempati posisi tertinggi dalam struktur keyakinan masyarakat Islam sebagai seorang Waliyullah.
Wallahu a’lam, lepas dari perdebatan berbagai versi yang ada mana yang dianggap benar. Namun satu hal yang pasti dan dapat dibuktikan bahwa Syekh Ahmad Mutamakkin berhasil lolos dari tuntutan atas kematiannya dan di masyarakat sampai sekarang tetap diyakini sebagai seorang Wali yang memiliki berbagai kemampuan linuwih dan karomah. Bahkan kehadirannya di desa Kajen telah menjadi pioner dan perintis berdirinya pesantren dan penyebaran agama Islam, ini merupakan bukti nyata bahwa beliau diterima dan dipercaya oleh masyarakat, dan sejarah adalah bukti paling nyata atas sebuah peristiwa yang terjadi.
Perjuangan dan ajaran beliau sampai sekarang masih diyakini dan dipegang teguh oleh keturunan dan para pengikutnya, pengaruh beliau masih dapat dirasakan sampai sekarang, layaknya sebagai tanah perdikan pada zaman itu yang dibebaskan dari pembayaran pajak, Kajen sekarang adalah tanah pendidikan yang menjadi alternatif dari bentuk pendidikan nasional yang ada, kajen dengan daya tarik dan berbagai kelebihannya ingin menyampaikan bahwa sejarah independensinya sebagai tanah perdikan tidak sekedar mandiri dalam arti sempit yang mengelola kehidupannya sendiri namun lebih dari itu Kajen adalah sebuah desa yang senantiasa mengikuti perkembangan yang terjadi tanpa menghilangkan nilai lokalitas yang dimilikinya. Pembangunan bukan berarti merubah segala sesuatu dengan menghancurkan yang lama, tapi pembangunan adalah suatu usaha untuk memahami jati diri dan potensinya yang disesuaikan dengan kebutuhan demi kemaslahatan dan kebahagiaan baik di dunia maupun akhirat. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan pesantren di desa Kajen yang mencapai 26 unit dan 5 unit sekolah Islam/madrasah yang semuanya dikelola dan dikembangkan oleh keturunan sang pejuang dan penganjur nilai-nilai luhur dan keislaman, Mbah Mutamakkin.
Syekh Ahmad Mutamakkin dimakamkan di Desa Kajen Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati Jawa Tengah. Areal pemakaman atau pesarean berbentuk bangunan menyerupai musholla berukuran 6 x 14 meter selalu ramai oleh pengunjung yang berziarah, mengaji Al Qur’an, berdoa dan bertawasul. Pemandangan seperti ini memang biasa disaksikan di pesarean Mutamakkin atau mungkin juga di tempat-tempat lain yang dianggap memiliki sejarah dan nilai karomah tertentu. Datang silih berganti, laki-laki dan perempuan yang mengaku dari berbagai pelosok Pati dan sekitarnya itu memang sengaja menyempatkan diri sowan, ziarah, kirim doa, atau bermunajat di hadapan makam sang syeikh. Biasanya, para peziarah mulai berdatangan pada Kamis siang dan berakhir pada Jum’at sore. Meskipun makam tersebut disinyalir sudah berumur + 200 tahun, tetapi sawaban, keramat, dan pesona kesucian yang terpancar dari sosok Ahmad Mutamakkin masih dirasakan sampai sekarang. Bahkan, makam yang berdekatan dengan Madrasah Mathali’ul Falah pimpinan KH Sahal Mahfudz itu pun dijadikan oleh para santri (laki-laki) sebagai tempat untuk berkhalwat, nyepi, dan menghafal Alquran.
Lakon Dewa Ruci
Dalam lakon Dewaruci, tokoh utamanya adalah Bima, putra kedua dari Pandawa Lima. Dikisahkan, dalam lakon tersebut, Bima mencari hakikat hidup yang disebut dengan Tirtasari. Ketika berada di sebuah gunung (Reksomuka), Bima harus berhadapan dengan dua raksasa penunggu gunung, yaitu Rukmaka dan Rekmukala.
Dinamakan gunung Reksomuka, karena orang akan terhalang untuk mendapatkan hakikat dalam kehidupan apabila tergoda akan kehidupan lahir. Muko berarti penampilan lahir, sedangkan ngrekso berarti memelihara. Orang yang hanya memelihara tampilan lahiriahnya kemudian tergoda untuk nyeleweng, disebut dengan ngreksomuka.
Namun, kedua raksasa ini dapat dikalahkan oleh Bima, dengan kesaktian yang dimilikinya melalui kuku Pancanaka. Setelah berhasil dikalahkan, Bima kemudian melanjutkan perjalanan. Dan, ia bertemu lagi dengan lima raksasa. Namun, kelimanya berhasil dikalahkan berkat kuku Pancanaka.
Setelah itu, Bima menyeberangi lautan dan ia berjumpa dengan seekor ular naga yang bernama Werkudara. Dalam pertarungan melawan ular naga ini, Bima berhasil mengalahkannya, lagi-lagi dengan kuku pancanaka. Setelah itu, Bima bertemu dengan Dewa Ruci. Namun ia kaget, karena Dewa Ruci adalah gambaran bima sendiri yang sangat kecil.
Kisah ini menggambarkan cara orang Jawa dahulu untuk mengajak umat agar mau melaksanakan shalat. Karena dengan shalat (rukun Islam kedua), akan mampu mengalahkan segalanya, dengan hati yang tulus dan ikhlas. Menurut Bambang Pranowo, kisah Dewa Ruci itu menunjukkan perjalanan seorang hamba dalam mencari hakikat jati diri. Bima berusaha menundukkan hawa nafsunya dengan cara melawan segala godaan dunia, termasuk perhiasan dunia agar tidak terjerumus dan menyeng sarakannya. Dan, ketika ketemu jati dirinya, sesungguhnya dirinya sangat kecil di mata Allah. Allah-lah yang Maha Besar.
C.KESIMPULAN
Hal penting yang dapat diambil pelajaran dari seorang syekh Ahmad Mutamakkin adalah kecerdasan dan kepiwaian dalam menerapkan strategi perjuangan di tengah-tengah umat yang terkenal dengan pendekatan kultural-kontekstual. Pendekatan yang digunakan bukan institusi versus institusi. Beliau lebih memilih membangun institusi sendiri yang berada di luar pemerintahan, yaitu tasawuf. Melalui strategi kultural ini beliau menanamkan kesadaran dan pencerahan kepada umat lewat forum pengajian, majelis taklim yang sesuai dengan urat nadi persoalan rakyat. Beliau berbicara sesuai dengan nafas umat, sehingga mampu memberikan solusi sederhana yang aplikatif terhadap persoalan yang terjadi. Strategi inilah yang dipakai oleh para Wali Songo, terutama Sunan Kalijaga. Ada integrasi dan akulturasi Islam dengan budaya dan tradisi masyarakat setempat secara simbiosis-mutualisme. Saling mempengaruhi satu sama lain, menjadi satu kekuatan perubahan besar melawan kultur feodalisme-patriarki yang dilakukan oleh para raja secara gradual dan step by step. Artinya, asimilasi kedua unsur tersebut dijadikan jembatan untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan. Ada kemandirian, solidaritas dan kohesivitas serta mobilitas sosial kolektif dalam memperjuangkan hak-haknya. Untuk saat ini, pendekatan perjuangan model Syekh Ahmad Mutamakkin sangat efektif dan sudah teruji roda sejarah. Terbukti, apabila yang dipilih adalah pendekatan politis, legal formal, struktural dengan target dan ambisi, bukan hasil memuaskan yang dicapai, justru kehancuran, resistensi dan tidak mempunyai kontinuitas. Mudah hanyut ditelan waktu, cepat lapuk oleh putaran masa. Syekh Ahmad Mutamakkin mempunyai perhatian dan kepedulian yang total dalam melakukan pemberdayaan dan pencerahan kalangan grassroot/akar rumput. Agama tidak sekadar slogan utopis, sekadar khotbah di podium, tapi betul-betul merupakan sebuah gerak aktif-dinamis, bersenyawa dengan problem kemanusiaan, mampu menjadi lokomotif transformasi dan evolusi bagi persoalan masyarakat secara luas, baik sosial, budaya, ekonomi, maupun politik. Agama bukan berada di menara gading, asyik dengan dunianya, tidak mampu menginjakkan kakinya di bumi, realitas yang sebenarnya. Hal yang menjadi kecenderungan kaum agamawan dan akademisi saat ini. Mereka enjoy dengan dunianya, sedangkan persoalan rakyat secara empiris tidak pernah tersentuh. Atas jerih payah dan prestasinya inilah, sangat pantas kalau Syeikh Ahmad Mutamakkin saat ini menjadi legenda masyarakat Kajen yang selalu dijunjung dan dihormati. Sudah sepantasnyalah kita sebagai kader penerus perjuangan beliau tidak hanya menjadikannya mitos sejarah yang menyebabkan muncul romantisme historis-pasif, tetapi benar-benar menjadikannya sebagai kekuatan perubahan dalam kehidupan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
1. HM.Imam Sanusi, Sejarah KH.Ahmad Mutamakkin
2. Pekajenan.blogspot.com
3. Sufiroad.blogspot.com
Penyebaran Islam di Jawa tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dan kiprah perjalanan orang-orang suci yang sangat legendaris dalam cerita lisan orang Jawa-Islam yang sangat populer dengan sebutan Wali berjumlah sembilan atau Walisongo. Meskipun terkenal dengan sebutan Walisongo diduga kemungkinan besar sebenarnya jumlah yang sesungguhnya lebih dari itu, namun angka sembilan dalam mitologi Jawa memiliki makna tersendiri, dan kesembilan Wali yang populer dan diyakini masyarakat sebagai penyebar Islam pertama di Jawa adalah: Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Gunungjati.
Kesembilan Wali tersebut diyakini oleh masyarakat Jawa memiliki kemampuan linuwih baik secara fisik maupun spiritual, bahkan mereka dianggap mampu melakukan hal-hal yang sulit untuk diterima secara akali, merubah pohon pinang jadi emas dan membuat soko masjid dari pasahan kayu. Lepas dari perdebatan apakah cerita lisan itu benar atau salah yang jelas para Wali yang jumlahnya sembilan itu memilki kemampuan lebih dalam arti yang rasional dan ilmiah yaitu mereka sebagai pendatang yang berusaha merintis sebuah ajaran dan ideologi baru mampu melakukan strategi yang jitu dalam mencari celah-celah nilai antara tradisi dan keyakinan lama ( Hindu-Budha) dengan tradisi dan keyakinan baru (Islam) dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan, sehingga Islam sebagai nilai-nilai baru dengan strategi yang mereka bangun bisa diterima, bahkan sekarang menjadi ajaran mayoritas di Indonesia.
Strategi dan taktik inilah sebenarnya yang sekarang diwarisi oleh lembaga pendidikan yang namanya pesantren, karena memang secara historis keberadaan pesantren tidak bisa terlepas dari sejarah keberadaan para Wali tersebut. Penjagaan harmoni dan penghormatan terhadap nilai-nilai lama dan lokalitas sangat dijunjung tinggi di dalam proses akulturasi dan integrasi yang mereka lakukan. Institusionalisasi pesantren merupakan perjuangan tahap lanjut dari pendekatan yang digunakan Walisongo dalam meng-Islamkan tanah Jawa, kesalehan sebagai jalan hidup, pemahaman yang konkret dan utuh terhadap budaya lokal merupakan karakter yang dimiliki para santri yang dulu juga pernah dilakukan oleh Walisongo.
Perkembangan Islam di Jawa nenemukan momentumnya ketika para Wali dapat berintegrasi dengan para tokoh bangsawan Jawa saat itu, integrasi ini dilakukan dengan berbagai cara diantaranya melalui pendidikan, perkawinan dan puncaknya ketika Walisongo bersatu membangun masjid Demak dan menjadikannya sebagai pusat kerajaan Islam pertama di Jawa Tengah pada paruh kedua abad XV, Demak cepat menjadi pusat perdagangan dan lalu lintas serta sekaligus menjadi pusat ibadah bagi golongan menengah Islam yang baru muncul.
Politik ekspansi raja-raja Demak dalam masa kejayaannya telah jauh masuk ke Jawa Barat, Tengah dan Timur, hal itu selalu dibarengi dengan dakwah agama, sebab semangat agama raja-raja Demak menganggap Masjid Demak sebagai simbol kerajaan Islam pada saat itu.
Dalam sejarah dimaklumi Raden Patah sebagai raja Demak yang pertama, diyakini dia adalah keturunan raja kerajaan pra Islam Majapahit yang terakhir yang dalam legenda bernama Brawijaya, ibu raden Patah konon sorang putri keturunan Cina dari keraton raja Majapahit. Berturut-turut setelah kerajaan Demak dipegang oleh Raden Patah pada tampuk kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Pangeran Sabrang Lor yang selanjutnya diteruskan oleh generasi ketiga yang bernama Trenggono, keduanya merupakan putra dari Raden Patah raja pertama Demak.
Demak sebagai ibu kota kerajaan Islam menjadi titik tolak perjuangan pada dasawarsa pertama abad XVI untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh Jawa melalui berbagai ekspansi dan ekspedisi militer, ke arah barat Hasanuddin putra Syekh Nurullah yang lebih dikenal dengan gelar Sunan Gunungjati kelak kemudian diketahui sebagai raja Islam pertama di Banten, sementara ke arah timur bisa dilihat Jaka Tingkir seorang prajurit yang mengabdi pada raja Demak dan menjadi menantu Trenggono, menguasai pajang dan menjadi raja disana dan setelah itu mengangkat Pangeran Timur (putra raja Demak ) sebagai bupati di Madiun. Perluasan daerah melalui ekpansi dan ekspedisi ini menyebar ke berbagai arah penjuru Jawa sampai ke Madura pada paruh pertama abad XVI.
Sultan Trenggono telah mengawinkan salah satu putrinya dengan Jaka Tingkir alias Sultan Hadiwijaya dan dari perkawinan itu lahirlah Pangeran Benowo atau Raden Hadiningrat yang mempunyai putra bernama Pangeran Sambo atau Raden Sumohadinegoro yang menurunkan putra Syekh Ahmad Mutamakkin, Waliyullah yang berdakwah menyebarkan ajaran Islam di Desa Kajen Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati Propinsi Jawa Tengah.
B.STRATEGI DAN METODE DAKWAH
Syekh Ahmad Mutamakkin dilahirkan di Desa Cebolek, 10 kilometer dari kota Tuban sekitar tahun 1645 Masehi dan wafat tahun 1740 Masehi. Nama al-Mutamakkin merupakan nama gelar yang didapatkan sepulang menuntut ilmu di Timur Tengah, yang berarti orang yang meneguhkan hati atau diyakini akan kesuciannya.
Di desa asalnya yang sekarang sudah berganti nama menjadi Desa Winong dapat dijumpai peninggalan beliau berupa sebuah masjid kuno terletak di pinggir sungai. Didalamnya masih tersimpan kayu berbentuk lonjong agak bulat yang dulu digunakan beliau untuk menjemur peci/baldu (masyarakat sekitar menyebutnya klebut) serta sebuah batu berbentuk asbak. Sementara keris pusaka Syekh Ahmad Mutamakkin diyakini oleh masyarakat sekitar masih berada di dalam pohon sawo kecik yang berada di depan masjid itu. Kehidupan masyarakat yang damai dan tentram ini adalah hasil perjuangan beliau dengan menyadarkan para penyamun dan penjahat yang menguasai daerah itu sebelumnya.
Lazimnya orang yang hidup pada zaman dahulu, Mutamakkin muda mengembara untuk memenuhi hasrat keinginannya, suatu ketika sampailah pada sebuah tempat, tepatnya di sebelah utara timur laut desa Kajen sekarang. Kebiasaan para pengembara pada waktu itu untuk mengembalikan suasana daerah asalnya sekaligus untuk memudahkan dalam beradaptasi dengan lingkungan baru, daerah itu diberi nama “cebolek” seperti desa kelahiran beliau.
Di desa barunya ini Syekh Ahmad Mutamakkin sempat bermukim beberapa saat sampai suatu ketika ada kejadian mistik yang memberikan isyarat kepada beliau untuk menuju ke arah barat, kejadian itu beliau alami setelah menunaikan sholat isya’ dengan melihat cahaya yang terang berkilauan di arah barat, bagi Syekh Ahmad Mutamakkin hal ini merupakan isyarat, dan pada esok harinya beliau menghampiri tempat dimana cahaya pada malam hari itu mengarah. Disana beliau bertemu dengan seorang laki-laki tua yang dalam cerita lokal diyakini sebagai orang pertama Kajen yang bernama Mbah Syamsuddin. Dalam pertemuan itu terjadi sebuah dialog yang didalamnya ada penyerahan wilayah Kajen dari Mbah Syamsuddin kepada Syekh Ahmad Mutamakkin untuk merawat dan mengelolanya. Makam Mbah Syamsuddin berada disebelah barat makam Syekh Ahmad Mutamakkin tepatnya di sebelah arah selatan blumbang, yang sampai sekarang sering digunakan para santri untuk riyadloh dan menghafalkan al-qur’an.
Dalam masa hidupnya Syekh Ahmad Mutamakkin sepenuhnya mengabdikan diri untuk penyebaran agama Islam di daerahnya, beliau pernah belajar di Yaman kepada Syekh Muhammad Zayn al-Yamani yang merupakan seorang tokoh Sufi dalam tarekat Naqsyabandiyah dan sangat berpengaruh di Yaman saat itu. Tidak diketahui secara pasti kapan Syekh Ahmad Mutamakkin berguru kepada Syekh Muhammad Zayn al-Yamani, namun melalui tahun wafatnya ayah Syech Zayn (Syech Muhammad al-Baqi ) tahun 1663 dan kematian putranya (Abdul Khaliq Ibn Zayn) tahun 1740 jadi diperkirakan Syekh Zayn hidup antara abad XVI-XVII. Dengan demikian dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa Syekh Ahmad Mutamakkin berguru pada beliau pada sekitar masa itu.
Sebagai seorang ‘alim, diceritakan Syekh Ahmad Mutamakkin sangat teguh dalam memegang prinsip dan pendiriannya tentang aqidah yang diajarkan dalam Islam, meskipun demikian beliau juga senang mengikuti dan mencermati cerita dalam pewayangan, terutama cerita yang menyangkut lakon Bima Suci atau Dewa Ruci. Beliau sangat faham alur dan penafsiran dalam cerita tersebut, karena memang bagi beliau cerita Bima Suci atau Dewa Ruci itu mengandung unsur kesamaan seperti apa yang pernah dipelajarinya dalam ilmu tasauf ketika berguru di Yaman pada Syekh Zain al-Yamani.
Penyebaran ajaran Islam tidak hanya melalui pendekatan fiqih, namun pengenalan jati diri dan hakikat ketuhanan juga penting dalam membentuk pemahaman umat. Islam bukan hanya transaksional semata seperti pahala dan dosa, surga dan neraka, karena hal tersebut adalah urusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena itu, mengenal Allah akan membentuk diri seorang Muslim makin mencintai Sang Penciptanya. Sehingga pengabdian dan kepatuhan menjalankan syariat-Nya didasarkan pada kecintaan kepada Allah, itulah inti ajaran yang disampaikan Syekh Ahmad Mutamakkin kepada umat pada saat itu dimana masih sangat kental terasa pengaruh ajaran dan budaya lama seperti dalam cerita Bima Suci dan Dewa Ruci.
Ajaran Syekh Ahmad Mutamakkin tersebut oleh para ulama Keraton seperti Katib Anom ternyata dianggap sesat dan membahayakan aqidah umat yang baru mengenal dan mempelajari Islam. Karenanya Syekh Ahmad Mutamakkin sempat disidangkan di Keraton Kartasura dengan tuntutan hukuman pancung. Persidangan pada awalnya nampak alot namun akhirnya semua pihak memahami penjelasan Syekh Ahmad Mutamakkin.
Lazimnya seorang sufi, Syekh Ahmad Mutamakkin gemar melakukan ritual-ritual yang berhubungan dengan peningkatan kedekatan dan ketaqwaan kepada sang Khaliq ( riyadloh), ritual ini biasanya beliau lakukan dengan melatih menahan dan mengurangi kegiatan makan, minum dan tidur, dalam rangka pengekangan hawa nafsu. Suatu ketika Syekh Ahmad Mutamakkin melakukan riyadloh dengan puasa selama 40 hari. Pada hari terakhir riyadloh, sang istri diminta untuk memasak yang enak dan lezat, menjelang waktu berbuka puasa dan makanan dihidangkan seluruhnya diatas meja, beliau minta pada istrinya agar diikat dengan kursi yang didudukinya hingga sulit menggapai makanan tersebut. Sebagain versi lain mengatakan bahwa kejadian pengikatan hanya sebagai simbol pertarungan beliau dengan hawa nafsunya, dang akhirnya keluar dari dalam dirinya dua ekor anjing yang dengan lahapnya menghabiskan semua hidangan dan ingin kembali masuk ke raga beliau tetapi ditolak. Dua anjing tersebut lalu diberi nama Abdul Qohar dan Qomaruddin yang kebetulan menyamai nama penghulu dan khotib Tuban, pemberian nama ini bagi sebagian masyarakat yang anti terhadap beliau dianggap sebagai penghinaan atau bahkan sebagai sebuah kritik terhadap para penguasa saat itu, meskipun sebenarnya pemberian nama itu mengandung arti bagi beliau sendiri, yaitu hamba Allah yang mampu memerangi hawa nafsunya.
Banyak versi baik yang tertulis maupun yang masih beredar dalam keyakinan masyarakat Kajen yang menceritakan tentang sejarah kehidupan Syekh Ahmad Mutamakkin, dan dari kedua versi yang berkembang saling bertolak belakang sesuai dengan sudut pandang masing-masing, versi yang ditulis oleh penguasa saat itu yang lebih dikenal dengan “serat cebolek” menempatkan Syekh Ahmad Mutamakkin sebagai seorang pembangkang dan penganjur aliran sesat yang kurang mampu dan memahami bidang agama. Sementara versi yang diyakini masyarakat Kajen dan ditulis oleh salah satu pengikut dan keturunannya berdasarkan “lokal historis” masyarakat sekitar Kajen menempatkan Syekh Ahmad Mutamakkin sebagai seorang yang ‘alim dan suci sebagi penganjur agama Islam di daerah itu. Bahkan beliau menempati posisi tertinggi dalam struktur keyakinan masyarakat Islam sebagai seorang Waliyullah.
Wallahu a’lam, lepas dari perdebatan berbagai versi yang ada mana yang dianggap benar. Namun satu hal yang pasti dan dapat dibuktikan bahwa Syekh Ahmad Mutamakkin berhasil lolos dari tuntutan atas kematiannya dan di masyarakat sampai sekarang tetap diyakini sebagai seorang Wali yang memiliki berbagai kemampuan linuwih dan karomah. Bahkan kehadirannya di desa Kajen telah menjadi pioner dan perintis berdirinya pesantren dan penyebaran agama Islam, ini merupakan bukti nyata bahwa beliau diterima dan dipercaya oleh masyarakat, dan sejarah adalah bukti paling nyata atas sebuah peristiwa yang terjadi.
Perjuangan dan ajaran beliau sampai sekarang masih diyakini dan dipegang teguh oleh keturunan dan para pengikutnya, pengaruh beliau masih dapat dirasakan sampai sekarang, layaknya sebagai tanah perdikan pada zaman itu yang dibebaskan dari pembayaran pajak, Kajen sekarang adalah tanah pendidikan yang menjadi alternatif dari bentuk pendidikan nasional yang ada, kajen dengan daya tarik dan berbagai kelebihannya ingin menyampaikan bahwa sejarah independensinya sebagai tanah perdikan tidak sekedar mandiri dalam arti sempit yang mengelola kehidupannya sendiri namun lebih dari itu Kajen adalah sebuah desa yang senantiasa mengikuti perkembangan yang terjadi tanpa menghilangkan nilai lokalitas yang dimilikinya. Pembangunan bukan berarti merubah segala sesuatu dengan menghancurkan yang lama, tapi pembangunan adalah suatu usaha untuk memahami jati diri dan potensinya yang disesuaikan dengan kebutuhan demi kemaslahatan dan kebahagiaan baik di dunia maupun akhirat. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan pesantren di desa Kajen yang mencapai 26 unit dan 5 unit sekolah Islam/madrasah yang semuanya dikelola dan dikembangkan oleh keturunan sang pejuang dan penganjur nilai-nilai luhur dan keislaman, Mbah Mutamakkin.
Syekh Ahmad Mutamakkin dimakamkan di Desa Kajen Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati Jawa Tengah. Areal pemakaman atau pesarean berbentuk bangunan menyerupai musholla berukuran 6 x 14 meter selalu ramai oleh pengunjung yang berziarah, mengaji Al Qur’an, berdoa dan bertawasul. Pemandangan seperti ini memang biasa disaksikan di pesarean Mutamakkin atau mungkin juga di tempat-tempat lain yang dianggap memiliki sejarah dan nilai karomah tertentu. Datang silih berganti, laki-laki dan perempuan yang mengaku dari berbagai pelosok Pati dan sekitarnya itu memang sengaja menyempatkan diri sowan, ziarah, kirim doa, atau bermunajat di hadapan makam sang syeikh. Biasanya, para peziarah mulai berdatangan pada Kamis siang dan berakhir pada Jum’at sore. Meskipun makam tersebut disinyalir sudah berumur + 200 tahun, tetapi sawaban, keramat, dan pesona kesucian yang terpancar dari sosok Ahmad Mutamakkin masih dirasakan sampai sekarang. Bahkan, makam yang berdekatan dengan Madrasah Mathali’ul Falah pimpinan KH Sahal Mahfudz itu pun dijadikan oleh para santri (laki-laki) sebagai tempat untuk berkhalwat, nyepi, dan menghafal Alquran.
Lakon Dewa Ruci
Dalam lakon Dewaruci, tokoh utamanya adalah Bima, putra kedua dari Pandawa Lima. Dikisahkan, dalam lakon tersebut, Bima mencari hakikat hidup yang disebut dengan Tirtasari. Ketika berada di sebuah gunung (Reksomuka), Bima harus berhadapan dengan dua raksasa penunggu gunung, yaitu Rukmaka dan Rekmukala.
Dinamakan gunung Reksomuka, karena orang akan terhalang untuk mendapatkan hakikat dalam kehidupan apabila tergoda akan kehidupan lahir. Muko berarti penampilan lahir, sedangkan ngrekso berarti memelihara. Orang yang hanya memelihara tampilan lahiriahnya kemudian tergoda untuk nyeleweng, disebut dengan ngreksomuka.
Namun, kedua raksasa ini dapat dikalahkan oleh Bima, dengan kesaktian yang dimilikinya melalui kuku Pancanaka. Setelah berhasil dikalahkan, Bima kemudian melanjutkan perjalanan. Dan, ia bertemu lagi dengan lima raksasa. Namun, kelimanya berhasil dikalahkan berkat kuku Pancanaka.
Setelah itu, Bima menyeberangi lautan dan ia berjumpa dengan seekor ular naga yang bernama Werkudara. Dalam pertarungan melawan ular naga ini, Bima berhasil mengalahkannya, lagi-lagi dengan kuku pancanaka. Setelah itu, Bima bertemu dengan Dewa Ruci. Namun ia kaget, karena Dewa Ruci adalah gambaran bima sendiri yang sangat kecil.
Kisah ini menggambarkan cara orang Jawa dahulu untuk mengajak umat agar mau melaksanakan shalat. Karena dengan shalat (rukun Islam kedua), akan mampu mengalahkan segalanya, dengan hati yang tulus dan ikhlas. Menurut Bambang Pranowo, kisah Dewa Ruci itu menunjukkan perjalanan seorang hamba dalam mencari hakikat jati diri. Bima berusaha menundukkan hawa nafsunya dengan cara melawan segala godaan dunia, termasuk perhiasan dunia agar tidak terjerumus dan menyeng sarakannya. Dan, ketika ketemu jati dirinya, sesungguhnya dirinya sangat kecil di mata Allah. Allah-lah yang Maha Besar.
C.KESIMPULAN
Hal penting yang dapat diambil pelajaran dari seorang syekh Ahmad Mutamakkin adalah kecerdasan dan kepiwaian dalam menerapkan strategi perjuangan di tengah-tengah umat yang terkenal dengan pendekatan kultural-kontekstual. Pendekatan yang digunakan bukan institusi versus institusi. Beliau lebih memilih membangun institusi sendiri yang berada di luar pemerintahan, yaitu tasawuf. Melalui strategi kultural ini beliau menanamkan kesadaran dan pencerahan kepada umat lewat forum pengajian, majelis taklim yang sesuai dengan urat nadi persoalan rakyat. Beliau berbicara sesuai dengan nafas umat, sehingga mampu memberikan solusi sederhana yang aplikatif terhadap persoalan yang terjadi. Strategi inilah yang dipakai oleh para Wali Songo, terutama Sunan Kalijaga. Ada integrasi dan akulturasi Islam dengan budaya dan tradisi masyarakat setempat secara simbiosis-mutualisme. Saling mempengaruhi satu sama lain, menjadi satu kekuatan perubahan besar melawan kultur feodalisme-patriarki yang dilakukan oleh para raja secara gradual dan step by step. Artinya, asimilasi kedua unsur tersebut dijadikan jembatan untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan. Ada kemandirian, solidaritas dan kohesivitas serta mobilitas sosial kolektif dalam memperjuangkan hak-haknya. Untuk saat ini, pendekatan perjuangan model Syekh Ahmad Mutamakkin sangat efektif dan sudah teruji roda sejarah. Terbukti, apabila yang dipilih adalah pendekatan politis, legal formal, struktural dengan target dan ambisi, bukan hasil memuaskan yang dicapai, justru kehancuran, resistensi dan tidak mempunyai kontinuitas. Mudah hanyut ditelan waktu, cepat lapuk oleh putaran masa. Syekh Ahmad Mutamakkin mempunyai perhatian dan kepedulian yang total dalam melakukan pemberdayaan dan pencerahan kalangan grassroot/akar rumput. Agama tidak sekadar slogan utopis, sekadar khotbah di podium, tapi betul-betul merupakan sebuah gerak aktif-dinamis, bersenyawa dengan problem kemanusiaan, mampu menjadi lokomotif transformasi dan evolusi bagi persoalan masyarakat secara luas, baik sosial, budaya, ekonomi, maupun politik. Agama bukan berada di menara gading, asyik dengan dunianya, tidak mampu menginjakkan kakinya di bumi, realitas yang sebenarnya. Hal yang menjadi kecenderungan kaum agamawan dan akademisi saat ini. Mereka enjoy dengan dunianya, sedangkan persoalan rakyat secara empiris tidak pernah tersentuh. Atas jerih payah dan prestasinya inilah, sangat pantas kalau Syeikh Ahmad Mutamakkin saat ini menjadi legenda masyarakat Kajen yang selalu dijunjung dan dihormati. Sudah sepantasnyalah kita sebagai kader penerus perjuangan beliau tidak hanya menjadikannya mitos sejarah yang menyebabkan muncul romantisme historis-pasif, tetapi benar-benar menjadikannya sebagai kekuatan perubahan dalam kehidupan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
1. HM.Imam Sanusi, Sejarah KH.Ahmad Mutamakkin
2. Pekajenan.blogspot.com
3. Sufiroad.blogspot.com
Langganan:
Postingan (Atom)